Jalanan begitu rapi, teratur, dan bebas macet. Itu mungkin karena kebanyakan warga Austria lebih memilih untuk naik sepeda atau transportasi umum. Selain itu, mobil-mobil di Wina bentuknya mungil, sehingga tidak memakan jalan dan lebih efisien. Negara yang mendapat julukan 'Germany's Little Brother' ini memang memiliki sistem sosial terbaik di Eropa. Tak heran jika banyak imigran dari negara-negara tetangga, seperti Hungaria dan Rumania, berdatangan ke Austria.
Saat musim panas, suhu di Austria tak jauh berbeda dengan Indonesia. Sedikit yang membedakan terik matahari di sana tidak membuat tubuh banyak berkeringat, sehingga tidak mudah dehidrasi. Namun jangan melupakan kacamata hitam, lip balm, dan botol minuman sebagai bawaan wajib di tas, mengingat silau dan lamanya sinar matahari yang memang tidak baik untuk mata dan bibir.
Jika kehabisan air minum, dapat mengisi botol minuman dengan air segar dan dingin dari sebuah mesin secara gratis yang tersedia di tempat-tempat umum. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik ini, saya menjadi salah satu wakil delegasi Indonesia untuk suatu program dialog Internasional Islam dan Kristen atau Vienna International Christian-Islamic Summer University (VICISU) 2010 yang diselenggarakan oleh Universitas Wina dan Kementerian Sains dan Riset Austria.
Saya pun sudah tidak sabar untuk berpetualang ke tempat-tempat menarik di negara tempat syuting film Sound of Music ini. Saya berangan-angan bahwa saya adalah tokoh Maria yang diperankan oleh Julie Andrews, sang pengasuh yang tadinya tinggal di biara, karena tempat menginap saya memang salah satu dari sekian biara terkenal yang menjadi kebanggaan warga Austria. Stift Altenburg, saya datang!
Stift Altenburg
Setelah dua jam perjalanan dari pusat Kota Wina, tibalah di Stift Altenburg, sebuah kota kecil. Daerah ini lebih layak disebut pedesaan karena tempatnya yang sangat sunyi, jumlah penduduk yang sangat sedikit, dan banyaknya ladang pertanian gandum, anggur, dan jagung. Namun, yang namanya 'pedesaan' di Austria janganlah dibandingkan dengan di Indonesia, karena perumahannya sangat rapi, indah, dan bersih.
Stift Altenburg merupakan biara Katolik dari ordo Santo Benediktin yang telah berusia lebih dari 1000 tahun. Biara ini merupakan tempat wisata yang cukup populer untuk dikunjungi di musim panas.
Gerejanya indah, musiumnya menyimpan benda-benda bersejarah, dan bangunan gotiknya yang menawan. Bahkan, ada pula kafe yang menyediakan kue-kue, minuman segar, dan es krim dengan harga terjangkau. Selain karena bangunannya, jus anggur (Traubensaft) dan jus apel (Apfelsaft) buatan biara ini memang tiada duanya kelezatannya.
Yang mengagumkan bagi saya, jus anggur tersebut jika diperam sedikit lagi dapat menjadi wine. Jadi, rasa jus anggur tersebut mirip dengan rasa wine, tapi sama sekali tidak beralkohol.
Hal lain yang membuat biara ini paling terkenal adalah Garden of Religions, yaitu sebuah taman yang memiliki desain lansekap dan tumbuhan yang bermakna filosofis.
Contohnya, ada sebuah taman dengan ujung tiga jalan kecil yang artinya adalah agama Abrahamik yang akhirnya bercabang menjadi Islam, Kristen, dan Yahudi. Di sisi lain taman, ada pula tumbuhan yang bunganya dibiarkan layu. Bahkan, ada semak-semak mawar yang bunganya selalu dipotong, sehingga tampak aneh bagi yang melihat.
Setelah mendapat penjelasan dari pendeta yang menjadi guide saya, ternyata semua itu melambangkan dialog antar umat beragama yang gagal. Menurut dia, dialog yang berhasil ibarat bunga segar yang menyenangkan dan sedap dipandang karena akan membawa kepada kebaikan dan perdamaian. Sedangkan, dialog yang gagal akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di dalam hati, bagaikan bunga layu dan tak berkembang.
Stift Melk
Jangan lupakan Biara Melk yang telah dianugerahi gelar 'The Best Historic Destination' (tempat destinasi sejarah terbaik) oleh National Geographic Traveler Magazine. Di samping itu, pada 2000, UNESCO juga telah menetapkan biara ini sebagai salah satu world heritage yang musti dijaga dan dipelihara.
Nama 'Melk' sendiri berasal dari bahasa Slavik yang artinya 'arus yang bergerak lamban'. Nama ini terinspirasi dari sungai Danube, karena letak Melk di lembah Wachau yang berada tepat di atas sungai Danube.
Pada zaman pemerintahan Karolingian dan Ottonia, Stift Melk menjadi pusat kerajaan dan gereja utama kekaisaran Bavaria. Setelah itu, Babenberg menguasai Melk dan menjadikannya sebagai tempat persemayaman keluarga raja. Sejak 1089, para biarawan pengikut Ordo Santo Benediktin memutuskan untuk menjadikan Melk sebagai tempat mendalami ajaran agama tanpa adanya interupsi hal-hal duniawi.
Santo Benediktin adalah seorang pendeta yang menyabarkan konsep tentang komunitas tertutup sebagai jalan untuk berkonsentrasi dalam mengabdikan hidup pada Tuhan. Karena itulah, biara-biara pengikut ordo Benediktin mendapat julukan 'cloister' (claustrum = cloister).
Di tengah-tengah biara tersebut terdapat sebuah bangunan besar yang memiliki kubah berwarna hijau. Sepintas, bangunan tersebut mengingatkan saya pada masjid-masjid yang ada di Indonesia.
Yang membuat saya tak henti-hentinya berdecak kagum adalah altar bergaya neo-Baroque yang ada di dalam Biara Melk. Beratus-ratus ukiran detail di sini ternyata disepuh emas, sehingga tampak berkilauan, apalagi jika terkena sinar matahari.
Di langit-langit atapnya, terdapat lukisan fresco yang menceritakan kehidupan Santo Benediktin serta filosofi Kristen yang lainnya. Fresco yang menawan tersebut dilukis oleh Johann Michael Rottmayr, Johann Bergl, dan Paul Troger.
Yang lebih mengaggumkan lagi di perpustakaan Melk tersimpan 1800 manuskrip kuno. Yang tertua berasal dari awal abad ke-9 M. Hampir semua manuskrip merupakan naskah-naskah rohani, seperti Book of Sermons (Buku Khotbah), aturan-aturan Santo Benediktin,dan literatur teologi Kristen. Namun, ada juga catatan tentang penghitungan ilmu Fisika abad pertengahan, bola dunia yang pertama kali, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sains. (Dian Maya Safitri)